Atas nama cinta, banyak orang yang "bela-belain" berkorban apa saja. Tujuannya satu, agar pasangan bahagia. Tapi, haruskah sampai begitu?
Konon, cewek
mengklaim dirinya sebagai pihak yang paling banyak berkorban untuk pria. Sementara,
banyak pula arjuna yang merasa telah "berkorban" dan telaten merawat
cintanya.
Terlepas dari
pihak mana yang paling banyak berkorban, psikoterapis Dr. Laura Schlessinger,
di Los Angeles, AS, menilai "berkorban" adalah hal terbodoh yang
dilakukan orang.
Tentu,
Schlessinger tak bermaksud mengajak kita untuk menjadi orang egois, dan tak
pedulian. Buktinya, dia menyarankan kita untuk tetap bersabar dan menjunjung
tinggi toleransi.
Seimbang. Konon
pula, wanita memiliki kadar toleransi dan kesabaran yang lebih tinggi dibanding
pria. Mungkin itulah sebabnya, wanita menjadi pihak yang lebih banyak berkorban
atau mengalah.
Nyatanya,
"Banyak wanita yang merasa harus berkorban. Bahkan, tak sedikit wanita
merasa bahagia atas pengorbanannya. Padahal, kondisi itu, jauh dari sebuah
hubungan sehat."
Padahal,
kebahagiaan sejati itu hanya bisa diperoleh jika ada keseimbangan. "Jadi,
bukan hanya wanita saja atau pria saja yang harus berkorban. Tapi harus
dua-duanya."
`Dalam porsi
tertentu, berkorban atau mengalah akan sangat membantu sebuah hubungan. Tapi
bila dibiarkan terus-terusan, kondisi itu bisa terbalik menjadi bom waktu, yang
siap meledak kapan saja.